Juanda International Airport (May 4th, 2014)
Empat bulan
sudah aku menghabiskan hari-hariku di Pulau Jawa. Tak terasa “liburan” yang aku
miliki telah habis. Hari ini, Minggu 4 Mei 2014, aku harus kembali ke tempatku
bekerja. Tidak dekat memang. Ya, Papua...sebuah pulau besar di sebelah timur
Nusantara, di sebuah ibukota provinsi Papua Barat, Manokwari.
Juanda..salah
satu bandar udara yang turut menyimpan kisah kita. Ia menjadi saksi perjumpaan
kita. Sebuah tempat pertama kalinya kita bertemu pandang setelah sekitar 6
bulan lamanya kita menjalin komunikasi cukup intens. Komunikasi yang terjalin
dengan bantuan teknologi yang mampu mendekatkan yang jauh. Media sosial facebook,
Yahoo messenger, skype, telepon, sms, dan email semuanya menjadi “jembatan”
yang menghubungkan dua pulau dan dua zona waktu yang terbentang di antara kita.
Jembatan yang melintasi laut dan pulau-pulau yang terbentang antara Sulawesi Utara
(Tangkoko) dan Papua Barat (Manokwari). Dan hari ini menjadi kali pertama aku
sendirian menunggu sejak perjumpaan kita. Menunggu waktu keberangkatan pesawat
yang akan membawaku ke tempat kerjaku.
Sebuah lorong terbentang
di depan ruang tunggu. Lorong yang dihiasi kursi-kursi di depan masing-masing
ruang tunggu dengan beberapa tanaman hias. Kursi, lorong, tanaman, bahkan orang
yang berlalu-lalang di sepanjang lorong itu pernah melihat kita..melihat
kebersamaan kita..melihat kesedihan kita karena saat-saat di tempat inilah kita
harus kembali berpisah..kau harus kembali ke Tangkoko dan aku harus kembali ke
Manokwari.
Gate 4, kali
ini menjadi tempat yang dipilihkan untuk menjadi pintu keberangkatanku kembali
ke Manokwari. Di depan ruang tunggu 4 itu aku duduk. Menunggu pemberitahuan
untuk memasuki pesawat. Rute perjalanku kali ini adalah Surabaya-Ambon-Manokwari.
Pagi ini, sebuah bangku menjadi pilihanku untuk sejenak duduk dan menunggu
pemberitahuan itu. Tanpa aku minta pun ingatan-ingatan itu satu-persatu hinggap
di pikiranku. Ingatan saat kita duduk berdua di depan gate 2, yang saat itu
menjadi pintu keberangkatanku. Kau menemaniku, duduk di sampingku dan aku
menyandarkan tubuhku dalam pelukanmu sambil tangan kita bertautan. Aku mendengar
setiap detak jantungmu dan merasakan hembusan nafasmu. Tak banyak percakapan
yang kita lakukan, namun terasa banyak sekali hal yang kita perbincangkan. Sesekali
kau menatapku dan aku mendapatimu meakukannya...itu menjadi hal yang sangat
menyenangkan karena aku mendapatimu tersenyum menatapku..dan akupun tersenyum
melihatmu. Kau pernah mengatakan sesuatu tentang kejadian seperti ini, kau
bilang “Jangan wayu”. “Jangan wayu” merupakan sebuah istilah dalam bahasa jawa
yang digunakan untuk menyatakan sebuah sayur yang sudah sering dipanaskan
(baca: dinget) sehingga “jangan wayu” itu disebut “nget-ngetan” yang memiliki
dua arti: (1)sering dipanaskan agar tidak basi; (2)saling pandang. Ya, saling
pandang...memang sangat menyenangkan ketika kita mengetahui ada seseorang yang
diam-diam memandang kita, menjagai kita, mengagumi kita. Tapi yang kau lakukan
itu tidak diam-diam...kau mengatakan padaku bahwa kau akan selalu menjagaiku,
menyayangiku, menemaniku, selalu ada di sisiku, dan kau pun pernah mengatakan
bahwa kau mengagumiku. “Ada sesuatu yang hebat di dirimu Tes,” itu yang pernah
kau katakan padaku. Kau juga pernah bilang, “Papahnya aja hebat, pantesan anak
ragilnya juga hebat”... Aku tertawa atas apa yang kau katakan itu, dan aku
tidak mempercayainya karena aku tidak merasa sehebat yang kau katakan. Kau jaaauh
lebih hebat daripadaku...
Pemberitahuan untuk memasuki pesawat tak kunjung terdengar dan
ingatan-ingatan itu semakin tajam singgah di pikiranku. Waktu itu
keberangkatanku di gate2 sementara kau di gate 7. Empat gate yang menjadi
pemisah itu tak menghalangi kita...karena kau duduk di sampingku di depan gate
2. Kau tak ingin membuatku lelah berjalan jika harus menunggu jauh dari gate
keberangkatanku. Sebuah sifat kesatria yang kau miliki lagi-lagi kau tunjukkan
padaku. Kesedihan akan perpisahan kembali merundungi kita. Pemberitahuan boarding untukmu pun mulai berkumandang
dari speaker-speaker yang terpasang di sana. Kitapun berpelukan dan mengucapkan
sampai jumpa... kau mulai beranjak dan berjalan menuju gate 7 sementara aku
masih duduk menunggu pemberitahuan keberangkatan pesawat yang akan membawaku. Selang
beberapa menit, pemberitahuan keberangkatanku pun terdengar. Dan aku sangat
terkejut ketika aku dapati kau kembali menghampiriku dan memelukku lagi. Senang
karena bisa memelukmu lagi dan dekat denganmu. Sedih karena kita harus berpisah...kembali
harus menjalani hubungan jarak jauh. Namun kita sudah membangun komitmen, komitmen
untuk menjalani masa depan bersama-sama, dan kita harus berjuang untuk tetap
menjaga komitmen itu.
Semua kenangan
yang muncul itu aku coba tuangkan dalam sebuah catatan di handphoneku. Tidak lancar aku menuliskan semuanya..sesekali aku
harus menarik nafas dalam hanya untuk menahan agar air mataku tidak menetes. Namun
itu hanya berlangsung sebentar saja, karena pada akhirnya aku tak mampu
membendungnya. Air mataku tumpah di depan ruang tunggu itu. Aku seorang diri
duduk diantara beberapa orang di lorong itu, memandang layar handphone dan jemariku menekan keypad untuk menyusun deretan huruf
bermakna. Sesekali tanganku mengusap air mata yang membasahi pipiku dan berusaha
mengatur nafasku. Terngiang sebuah lagu “Water Under Bridges” dengan lirik ‘Do
you remember the days we used to spend? Memories so strong, it keeps me from
moving on. If I could go back, I'd take our worst days. Even our worst days are
better than loneliness.”
Aku masih
sangat sedih dan rasanya aku tak sanggup, sakit dan sesak dadaku. Ingin rasanya
mengulang semuanya, ingin bersama-sama denganmu di dunia ini dimana aku bisa
berkeluh kesah, bermanja-manja, bercanda tawa denganmu, bersandar di bahumu,
berlindung dalam pelukanmu, menggenggam tanganmu, mendengar suaramu, melihat
wajahmu, matamu, senyummu, dan semuanya bersamamu.
Kau ingat
Sayang, dulu kita sering menghitung mundur hari-hari menjelang perjumpaan kita.
Berkurangnya angka-angka itu terasa sangat menyenangkan karena itu berarti
semakin dekat waktu kita untuk berjumpa.tetapi sekarang, aku tak tahu harus
memulai berhitung mundur dari angka berapa. Dan sepertinya aku hanya bisa menghitung
maju...dan itu berawal dari saat Tuhan menjemputmu.
Setapak demi
setapak, sehari demi sehari aku akan berusaha sepertimu. Seorang yang selalu
bersemangat, selalu optimis dan siap melangkah maju apapun resikonya. Saat kita
mulai angkaran-pertengkarakrab, pacaran jarak jauh, perten yang kita alami,
semuanya merupakan perjuangan kita untuk sampai pada saat kita berjalan
berdampingan di lorong itu dan saling mengucapkan janji pernikahan kita di
hadapan Tuhan. Tak berakhir sampai di situ. Sebagaiman yang pernah kau katakan
saat kita berpacaran, bahwa nantinya akan banyak cobaan dan permasalahan dalam
hidup kita dan kita pasti bisa mengatasinya bersama-sama...berdua kita pasti
mampu melewatnya dan bertumbuh karenanya...berdua...bersama kita bisa. Itu yang
dulu kau ucapkan dan aku menyakininya juga. Aku yakin kau selalu bersamaku,
selalu di sampingku, selalu menjagaku. Semua itu karena aku yakin bahwa kau
seperti bintang yang selalu ada meskipun mataku mampu lagi menangkap bayanganmu,
tak mampu menangkap sinarmu. Kaulah bintangku, kesatriaku.
Semakin hari
aku berharap aku bisa semakin memiliki kesabaran yang lebih dari sebelumnya,
semakin kuat dari sebelumnya, semakin tabah dari sebelumnya, semakin dewasa
dari sebelumnya. Semakin menjadi pribadi yang baik dan pantas ketika nanti
saatku tiba, aku dapat berjumpa kembali denganmu dalam kehidupan kekal. Saat
itulah yang aku tunggu-tunggu.
Aku mencintaimu,
kemarin, hari ini, esok dan selamanya.