Kamis, 15 Mei 2014

Pedihku di sela guyuran hujan (the 100th day)


Pedihku di sela guyuran hujan (May 14th, 2014)
Magic rain. Malam ini hujan mengguyur kampung halaman suamiku. Hujan lebat dan angin yg cukup kencang mengirimkan hawa dingin yg membuatku menyerah dan akhirnya meringkuk dg jaket di badanku... Dingin, suara tetesan air, suasana malam yg cukup tenang membuat suasana semakin terasa menusuk hatiku... Mejik..ya..'hujannya mejik' itu yg dulu sering kami ucapkan untuk menggambarkan suasana saat hujan mulai membuat kami 'melow'.
Rasa rindu mulai merayapi setiap sel tubuhku...semakin lama semakin dalam dan kuat. Dadaku mulai sesak...pandanganku mulai kabur oleh air...air mata. Teringat olehku bahwa kau tak lagi ada di sisiku. Memori2 kebersamaan kita mulai melintasi pikiranku...satu persatu hadir scr acak dan mulai mengacaukan pikiranku... Nafasku tercekat, perutku merasakan sensasi aneh, dadaku sesak dan hatikupun mulai merasakan kepedihan itu lagi.

Senin, 05 Mei 2014

Juanda International Airport, May 4th, 2014 (the 90th day)


Juanda International Airport (May 4th, 2014)
Empat bulan sudah aku menghabiskan hari-hariku di Pulau Jawa. Tak terasa “liburan” yang aku miliki telah habis. Hari ini, Minggu 4 Mei 2014, aku harus kembali ke tempatku bekerja. Tidak dekat memang. Ya, Papua...sebuah pulau besar di sebelah timur Nusantara, di sebuah ibukota provinsi Papua Barat, Manokwari.
Juanda..salah satu bandar udara yang turut menyimpan kisah kita. Ia menjadi saksi perjumpaan kita. Sebuah tempat pertama kalinya kita bertemu pandang setelah sekitar 6 bulan lamanya kita menjalin komunikasi cukup intens. Komunikasi yang terjalin dengan bantuan teknologi yang mampu mendekatkan yang jauh. Media sosial facebook, Yahoo messenger, skype, telepon, sms, dan email semuanya menjadi “jembatan” yang menghubungkan dua pulau dan dua zona waktu yang terbentang di antara kita. Jembatan yang melintasi laut dan pulau-pulau yang terbentang antara Sulawesi Utara (Tangkoko) dan Papua Barat (Manokwari). Dan hari ini menjadi kali pertama aku sendirian menunggu sejak perjumpaan kita. Menunggu waktu keberangkatan pesawat yang akan membawaku ke tempat kerjaku.
Sebuah lorong terbentang di depan ruang tunggu. Lorong yang dihiasi kursi-kursi di depan masing-masing ruang tunggu dengan beberapa tanaman hias. Kursi, lorong, tanaman, bahkan orang yang berlalu-lalang di sepanjang lorong itu pernah melihat kita..melihat kebersamaan kita..melihat kesedihan kita karena saat-saat di tempat inilah kita harus kembali berpisah..kau harus kembali ke Tangkoko dan aku harus kembali ke Manokwari.
Gate 4, kali ini menjadi tempat yang dipilihkan untuk menjadi pintu keberangkatanku kembali ke Manokwari. Di depan ruang tunggu 4 itu aku duduk. Menunggu pemberitahuan untuk memasuki pesawat. Rute perjalanku kali ini adalah Surabaya-Ambon-Manokwari. Pagi ini, sebuah bangku menjadi pilihanku untuk sejenak duduk dan menunggu pemberitahuan itu. Tanpa aku minta pun ingatan-ingatan itu satu-persatu hinggap di pikiranku. Ingatan saat kita duduk berdua di depan gate 2, yang saat itu menjadi pintu keberangkatanku. Kau menemaniku, duduk di sampingku dan aku menyandarkan tubuhku dalam pelukanmu sambil tangan kita bertautan. Aku mendengar setiap detak jantungmu dan merasakan hembusan nafasmu. Tak banyak percakapan yang kita lakukan, namun terasa banyak sekali hal yang kita perbincangkan. Sesekali kau menatapku dan aku mendapatimu meakukannya...itu menjadi hal yang sangat menyenangkan karena aku mendapatimu tersenyum menatapku..dan akupun tersenyum melihatmu. Kau pernah mengatakan sesuatu tentang kejadian seperti ini, kau bilang “Jangan wayu”. “Jangan wayu” merupakan sebuah istilah dalam bahasa jawa yang digunakan untuk menyatakan sebuah sayur yang sudah sering dipanaskan (baca: dinget) sehingga “jangan wayu” itu disebut “nget-ngetan” yang memiliki dua arti: (1)sering dipanaskan agar tidak basi; (2)saling pandang. Ya, saling pandang...memang sangat menyenangkan ketika kita mengetahui ada seseorang yang diam-diam memandang kita, menjagai kita, mengagumi kita. Tapi yang kau lakukan itu tidak diam-diam...kau mengatakan padaku bahwa kau akan selalu menjagaiku, menyayangiku, menemaniku, selalu ada di sisiku, dan kau pun pernah mengatakan bahwa kau mengagumiku. “Ada sesuatu yang hebat di dirimu Tes,” itu yang pernah kau katakan padaku. Kau juga pernah bilang, “Papahnya aja hebat, pantesan anak ragilnya juga hebat”... Aku tertawa atas apa yang kau katakan itu, dan aku tidak mempercayainya karena aku tidak merasa sehebat yang kau katakan. Kau jaaauh lebih hebat daripadaku...

Pemberitahuan untuk memasuki pesawat tak kunjung terdengar dan ingatan-ingatan itu semakin tajam singgah di pikiranku. Waktu itu keberangkatanku di gate2 sementara kau di gate 7. Empat gate yang menjadi pemisah itu tak menghalangi kita...karena kau duduk di sampingku di depan gate 2. Kau tak ingin membuatku lelah berjalan jika harus menunggu jauh dari gate keberangkatanku. Sebuah sifat kesatria yang kau miliki lagi-lagi kau tunjukkan padaku. Kesedihan akan perpisahan kembali merundungi kita. Pemberitahuan boarding untukmu pun mulai berkumandang dari speaker-speaker yang terpasang di sana. Kitapun berpelukan dan mengucapkan sampai jumpa... kau mulai beranjak dan berjalan menuju gate 7 sementara aku masih duduk menunggu pemberitahuan keberangkatan pesawat yang akan membawaku. Selang beberapa menit, pemberitahuan keberangkatanku pun terdengar. Dan aku sangat terkejut ketika aku dapati kau kembali menghampiriku dan memelukku lagi. Senang karena bisa memelukmu lagi dan dekat denganmu. Sedih karena kita harus berpisah...kembali harus menjalani hubungan jarak jauh. Namun kita sudah membangun komitmen, komitmen untuk menjalani masa depan bersama-sama, dan kita harus berjuang untuk tetap menjaga komitmen itu.


Semua kenangan yang muncul itu aku coba tuangkan dalam sebuah catatan di handphoneku. Tidak lancar aku menuliskan semuanya..sesekali aku harus menarik nafas dalam hanya untuk menahan agar air mataku tidak menetes. Namun itu hanya berlangsung sebentar saja, karena pada akhirnya aku tak mampu membendungnya. Air mataku tumpah di depan ruang tunggu itu. Aku seorang diri duduk diantara beberapa orang di lorong itu, memandang layar handphone dan jemariku menekan keypad untuk menyusun deretan huruf bermakna. Sesekali tanganku mengusap air mata yang membasahi pipiku dan berusaha mengatur nafasku. Terngiang sebuah lagu “Water Under Bridges” dengan lirik ‘Do you remember the days we used to spend? Memories so strong, it keeps me from moving on. If I could go back, I'd take our worst days. Even our worst days are better than loneliness.”
Aku masih sangat sedih dan rasanya aku tak sanggup, sakit dan sesak dadaku. Ingin rasanya mengulang semuanya, ingin bersama-sama denganmu di dunia ini dimana aku bisa berkeluh kesah, bermanja-manja, bercanda tawa denganmu, bersandar di bahumu, berlindung dalam pelukanmu, menggenggam tanganmu, mendengar suaramu, melihat wajahmu, matamu, senyummu, dan semuanya bersamamu.
Kau ingat Sayang, dulu kita sering menghitung mundur hari-hari menjelang perjumpaan kita. Berkurangnya angka-angka itu terasa sangat menyenangkan karena itu berarti semakin dekat waktu kita untuk berjumpa.tetapi sekarang, aku tak tahu harus memulai berhitung mundur dari angka berapa. Dan sepertinya aku hanya bisa menghitung maju...dan itu berawal dari saat Tuhan menjemputmu.
Setapak demi setapak, sehari demi sehari aku akan berusaha sepertimu. Seorang yang selalu bersemangat, selalu optimis dan siap melangkah maju apapun resikonya. Saat kita mulai angkaran-pertengkarakrab, pacaran jarak jauh, perten yang kita alami, semuanya merupakan perjuangan kita untuk sampai pada saat kita berjalan berdampingan di lorong itu dan saling mengucapkan janji pernikahan kita di hadapan Tuhan. Tak berakhir sampai di situ. Sebagaiman yang pernah kau katakan saat kita berpacaran, bahwa nantinya akan banyak cobaan dan permasalahan dalam hidup kita dan kita pasti bisa mengatasinya bersama-sama...berdua kita pasti mampu melewatnya dan bertumbuh karenanya...berdua...bersama kita bisa. Itu yang dulu kau ucapkan dan aku menyakininya juga. Aku yakin kau selalu bersamaku, selalu di sampingku, selalu menjagaku. Semua itu karena aku yakin bahwa kau seperti bintang yang selalu ada meskipun mataku mampu lagi menangkap bayanganmu, tak mampu menangkap sinarmu. Kaulah bintangku, kesatriaku.
Semakin hari aku berharap aku bisa semakin memiliki kesabaran yang lebih dari sebelumnya, semakin kuat dari sebelumnya, semakin tabah dari sebelumnya, semakin dewasa dari sebelumnya. Semakin menjadi pribadi yang baik dan pantas ketika nanti saatku tiba, aku dapat berjumpa kembali denganmu dalam kehidupan kekal. Saat itulah yang aku tunggu-tunggu.
Aku mencintaimu, kemarin, hari ini, esok dan selamanya.